Selasa, 21 November 2017

Jenderal Besar TNI (Purn.Abdul Haris Nasution (lahir di KotanopanSumatera Utara3 Desember 1918 – meninggal di Jakarta6 September 2000 pada umur 81 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia[2] yang merupakan salah satu tokoh yang menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September, namun yang menjadi korban adalah putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya, Lettu Pierre Tendean.
Nasution merupakan konseptor Dwifungsi ABRI yang disampaikan pada tahun 1958 yang kemudian diadopsi selama pemerintahan Soeharto. Konsep dasar yang ditawarkan tersebut merupakan jalan agar ABRI tidak harus berada di bawah kendali sipil, namun pada saat yang sama, tidak boleh mendominasi sehingga menjadi sebuah kediktatoran militer.[3]
Bersama Soeharto dan Soedirman, Nasution menerima pangkat kehormatan Jenderal Besar yang dianugerahkan pada tanggal 5 Oktober 1997, saat ulang tahun ABRI.
Nasution dilahirkan di Desa Hutapungkut, KotanopanKabupaten Mandailing NatalSumatera Utara,[4] dari keluarga Batak Muslim.[5]Ia adalah anak kedua dan juga merupakan putra tertua dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang pedagang yang menjual tekstil, karet dan kopi, dan merupakan anggota dari organisasi Sarekat Islam. Ayahnya, yang sangat religius, ingin anaknya untuk belajar di sekolah agama, sementara ibunya ingin dia belajar kedokteran di Batavia. Namun, setelah lulus dari sekolah pada tahun 1932, Nasution menerima beasiswa untuk belajar mengajar di Bukit Tinggi.
Pada tahun 1935 Nasution pindah ke Bandung untuk melanjutkan studi, di sana ia tinggal selama tiga tahun. Keinginannya untuk menjadi guru secara bertahap memudar saat minatnya dalam politik tumbuh. Dia diam-diam membeli buku yang ditulis oleh Soekarnodan membacanya dengan teman-temannya. Setelah lulus pada tahun 1937, Nasution kembali ke Sumatera dan mengajar di Bengkulu, ia tinggal di dekat rumah pengasingan Soekarno. Dia kadang-kadang berbicara dengan Soekarno, dan mendengarnya berpidato. Setahun kemudian Nasution pindah ke Tanjung Raja, dekat Palembang, di mana ia melanjutkan mengajar, namun ia menjadi lebih dan lebih tertarik pada politik dan militer.[6]
Pada tahun 1940, Jerman Nazi menduduki Belanda dan pemerintah kolonial Belanda membentuk korps perwira cadangan yang menerima orang Indonesia. Nasution kemudian bergabung, karena ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pelatihan militer. Seiring dengan beberapa orang Indonesia lainnya, ia dikirim ke Akademi Militer Bandung untuk pelatihan. Pada bulan September 1940 ia dipromosikan menjadi kopral, tiga bulan kemudian menjadi sersan. Dia kemudian menjadi seorang perwira di Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL).[7] Pada tahun 1942 Jepang menyerbu dan menduduki Indonesia. Pada saat itu, Nasution di Surabaya, ia ditempatkan di sana untuk mempertahankan pelabuhan. Nasution kemudian menemukan jalan kembali ke Bandung dan bersembunyi, karena ia takut ditangkap oleh Jepang. Namun, ia kemudian membantu milisi PETA yang dibentuk oleh penjajah Jepang dengan membawa pesan, tetapi tidak benar-benar menjadi anggota.

Jenderal Besar   TNI  ( Purn. )  Abdul Haris Nasution  (lahir di  Kotanopan ,  Sumatera Utara ,  3 Desember   1918  – meninggal di  Jakarta...